Selasa, 06 September 2011

Memaknai Struktural Konflik Sebagai Unit Analisis Perubahan Sosial



Abstrak
Konflik pada masyarakat Indonesia dewasa ini, adalah merupakan pengalaman yang nyata untuk mengelola dinamika konflik tersebut, pertama dan terutama bagaimana memahami akar persoalan konflik sosial yang terjadi, sehingga penyelesaian konflik atau rekonsiliasi sosial dapat dilakukan dengan proses dialog. Secara niscaya, untuk menjawab hal tersebut sudah barang tentu adanya kesungguhan dari kelompok yang sedang berkonflik, serta adanya kebutuhan akan hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam koridor persamaan dalam perbedaan. Sehingga, konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dapat dibangun dengan adanya interaksi sosial antar kelompok dengan baik. Karenanya, masa depan Indonesia pun tidak luput atau ditentukan oleh hubungan antar kelompok sosial yang ada.
Dengan demikian, resolusi konflik tiada lain dibutuhkan strategi memahami kebutuhan/kepentingan kelompok yang sedang berkonflik. Agar pengelolaannya dimenej dengan arif, tanpa merugikan atau mengorbankan kelomopok yang satu dan menguntungkan kelompok yang lain, namun berada dalam konfigurasi dialog secara terbuka dan terus menerus sehingga menemukan dan sekaligus mengidentifikasi kepentngan bersama.

Pendahuluan
Persoalan sosial adalah persoalan konflik. Bahkan konflik disadari atau tidak, merupakan realitas sosial dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan masyarakat bangsa sehari-hari. Apa penyebab utama adanya konflik dalam kehidupan masyarakat umumnya (?) Konflik sosial adalah bagian integral konstruksi sosial yang dibangun oleh pluralistik kelompok etinik, atau konflik terjadi, setidaknya karena ada dua individu atau kelompok kepentingan yang berbeda.

Begitu pun, adegan-adegan politik yang dipertontonkan elit-elit politik akhir-akhir ini, sesungguhnya merujuk kepada kepentingan- kepentingan individu atau kelompoknya. Itu sebabnya, konflik yang terjadi di tingkat elit politik jelas tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentingan tertentu (vested interest). Kenyataan tersebut, konflik elit politik sedikit banyak membawa pengaruh yang tak bisa dihindari dalam pergumulan kehidupan politik nasional.

Memang, konflik tidak bisa dibumihanguskan dalam kehidupan politik negara bangsa (nation state) ini. Ia senantiasa menghiasa pergulatan perpolitikannya. Baik itu “dihiasi” dengan memanfaatkan sentimen politik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) maupun karena pertimbangan-pertimbangan kepentingan ekonomi. Itu sebabnya, konflik pada dasarnya mempunyai karakteristik yang secara niscaya hampir sama yaitu karena kepentingan- kepentingan masing-masing kelompok berbeda. Tanpa pertimbangan kepentingan, tampaknya tak mungkin terjadi konflik. Dengan perkataan lain, bangunan sosial (baca: konstruksi sosial) seperti Negara Indonesia, secara alamiah niscaya menyimpan perbedaan-perbedaan yang tak bisa diabaikan dalam pergumulan dan pergaulan kehidupannya, sehingga secara substansial potensial akan menimbulkan konflik. Dengan demikian, konflik menurut Chusnul Mar’iyah, adalah merupakan konsekuensi logis dari konstruksi sosial dari masyarakat negara Indonesia di mana Indonesia dibangun dari berbagai kelompok etnik yang berbeda dan kelompok agama yang berbeda.

Persoalannya, bagaimana menyikapi konflik tersebut agar dapat dikelola dengan konstruktif dan meminimalisir kekerasan? Pendekatan apa saja sebagai terapi untuk menyelesaikan konflik, sehingga konflik tersebut tidak dianggap rigid dalam strategi perubahan sosial? Tulisan singkat ini mencoba mengelaborasi pendekatan struktural konflik sebagai unit analisis perubahan sosial atas realitas konflik yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat bangsa negara ini.

Konflik Sebagai Titik Singgung Interaksi
Konflik merupakan fakta sosial dalam setiap dimensi pergaulan dan pergumulan kehidupan yang bersifat universal, kendati yang menunjukkan kadar signifikansinya besar-kecilnya dari konsekuensi konflik tersebut. Itu sebabnya, dalam dunia nyata konflik tak bisa dihindari sebagai wujudnyata dalam realitas interaksi kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan politik negara bangsa (nation state). Seperti konflik vertikal antara rakyat (baca: GAM, Papua Merdeka) dengan negara, maupun konflik-konflik yang terjadi antara elit dengan elit dan rakyat dengan rakyat (konflik horizontal), menunjukkan benturan-benturan kepentingan yang masih eksis belum adanya titik temu antara yang sedang berkonflik.

Seiring dengan kenyataan tersebut, akankah konflik menjadi sebuah ancaman (disintegrasi sosial) atau sebaliknya, sebuah perubahan yang signifikan dalam pergaulan kehidupan masyarakat, sehingga menuju pada sebuah konsensus (integrasi sosial) yang mendasar manakala sistem sosial yang berbeda-beda itu menanggalkan egoisme kelompoknya atau kepentingannya masing-masing.

Memang, asumsi yang mendasari konflik seperti yang dibangun Marx (2003) adalah bahwa (a) perubahan merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat, (b) Konflik adalah gejala yang selalu melekat di dalam setiap masyarakat, (c) setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial, (d) setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi yang dilakukan oleh sejumlah orang terhadap sejumlah orang lainnya.

Dari asumsi dasar tersebut, teori konflik sesungguhnya merupakan strategi konflik marxian modern yang mengajukan proposisi yang kemudian dapat dielaborasi untuk menjadi sebuah strategi konflik. Beberapa prinsip utama strategi ini menurut Stephen K. Sanderson (2000) adalah sebagai berikut:
(1) Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan di antara dan di dalam kelompok-kelompok yang bertentangan. (2) Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politik merupakan hal penting, yang berbagai kelompok berusaha merebutnya. (3) Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi. (4) Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan. (5) Konflik dan pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial. (6) Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial menjadi hal yang umum dan sering terjadi.

Identitas keindonesian Negara Indonesia disadari atau tidak paling tidak dicirikan oleh pluralisme sosial. Realitas pluralistik masyarakat Indonesia, secara niscaya mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang berbeda satu sama lainnya yang menjadi ciri khas, bahkan senantiasa menonjol kepermukaan. Keanekaragaman budaya bangsa ini, di satu pihak menjadi modal dasar “pembangunan”, namun di lain pihak tak bisa dipungkiri dapat menimbulkan masalah yang berarti. Apalagi pertentangan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) baik itu secara individu/perorangan maupun kelompok/golongan. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Poloma (2003), Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, pernyataan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Dengan demikian, suku bangsa merupakan kelompok sosial yang secara sadar mempunyai suatu kebudayaan sebagai ciri khas kelompok sosial tersebut dan bahkan secara niscaya menjadi suatu kesadaran kolektif yang menjadi landasan wujudnyata adanya pengorganisasian sosial untuk melakukan interaksi sosial.

Koentjaraningrat (1985) menjelaskan bahwa konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan suatu kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tatapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.

Corak interaksi pada masyarakat yang majemuk memang dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kebudayaan yang dominan, dan kebudayaan yang dominan ini biasanya menjadi pengendali dan penyelaras interaksi antar etnik, suku, agama dan antargolongan. Itu sebabnya, sebagaimana dijelaskan Koentjaraningrat (1990) masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Interaksi sosial yang dilakukan masyarakat melibatkan anggota masyarakat dalam kelompok sosial tertentu yang disebut sistem sosial. Selanjutnya Koentjaraningrat (1990) mengatakan, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

Memang, corak atau pola interaksi sosial disadari atau tidak dipengaruhi oleh identitas sistem nilai sosial budaya kelompok masing-masing, dan proses interaksi tersebut baik secara perorangan maupun kelompok paling tidak dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu: (1) kontak, dan (2) kumunikasi (Koentjaraningrat, 1990). Kontak dan komunikasi dalam masyarakat adalah merupakan suatu kebutuhan yang tak bisa dihindari dalam pergaulannya, dan dalam kontak atau komunikasi mengandung aspek-aspek yang positif dan negatif tergantung baik dalam cara interaksinya maupun dalam pemaknaannya. Itu sebabnya, kontak dan komunikasi bisa positif dalam interaksi sosial, jika masing-masing anggota masyarakat/etnis menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang berada dalam identitas kelompok/golongan tersebut. Di samping itu, kontak dan komunikasi pun seringkali menjadi sumber konflik, karena adanya kesalah pahaman atau terjadi pertentangan sebagai pangkal utama dari adanya berbagai ketegangan yang ada pada setiap masyarakat.

Dengan pengertian lain, konflik bisa terjadi manakala setidaknya ada dua kepentingan yang berlawanan/berbeda. Faktor yang menjadi sumber munculnya konflik tersebut di dalam masyarakat seperti dikatakan oleh Nasikun (2001) perubahan sosial dianggap “bersumber” di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial yang demikian, terutama timbul karena adanya unsur-unusur yang saling bertentangan di dalam masyarakat. Kondisi tersebut terjadi karena di dalam masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau “otoritas” (authority) secara tidak merata yang mengakibatkan timbulnya dua macam katagori sosial di dalam masyarakat, yakni: mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagian otoritas yang bersifat dikotomis tersebut oleh para penganut pendekatan konflik dianggap menjadi sumber timbulnya konflik-konflik sosial di dalam setiap masyarakat, karena adanya pembagian otoritas yang berbeda menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain.

Masyarakat, menurut Marx, terdiri atas kekuatan yang mendorong perubahan sosial sebagai konsekuensi dari ketegangan-ketegangan dan perjuangan hidup. Perjuangan dan bukannya perkembangan damai merupakan mesin perubahan ke arah kemajuan, konflik adalah induk segala-galanya; oleh karenanya konflik sosial merupakan inti dari proses sejarah.

Memang, para sosiolog membedakan dua jenis konflik yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda dalam realitas pemunculannya. Pertama, konflik yang bersifat destruktif. Dalam konflik ini karena diakibatkan oleh adanya kebencian yang berkembang tumbuh pada mereka masing-masing kelompok. Dalam hal ini, salah satu penyebabnya bisa kecemburuan sosial ekonomi antara dua kelompok. Seperti konflik yang terjadi antara suku Dayak dan melayu melawan suku Madura. Juga konflik destruktifpun bisa terjadi oleh penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh negara dan aparatnya seperti masa Orde Baru dengan penguasaan tanah rakyat oleh pemodal besar dengan dukungan kekuasaan negara yang menimbulkan kemarahan di pihak rakyat ketika ada kesempatan. Termasuk sebagian rakyat Aceh akibat diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer) di wilayah mereka.

Dengan demikian, konflik yang bersifat destruktif atau negatif, berarti konflik yang mengancam eksistensi sistem sosial atau sturktur sosial yang biasa dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau pembumi-hangusan suatu identitas social (baca: genozide).
Dan kedua, bentuk konflik yang fungsional. Dalam konflik ini menghasilkan perubahan-perubahan atau konsensus-konsensus baru yang bernaung pada perbaikan dalam tataran kehidupan baik masyarakat maupun dalam kehidupan politik negara bangsa. Dengan kata lain, konflik fungsional berarti konflik yang tidak mengancam eksisten sistem sosial atau sturktur sosial, melainkan justru menggerakkan pada integrasi sosial.

Akar konflik tidak sederhana seperti yang dibayangkan, ia cukup kompleks karena adanya prasangka atau stereotif etnik yang cenderung negatif. Prasangka atau stereotif tersebut dapat memunculkan adanya konflik dan bahkan menghambat interaksi sosial yang baik. Termasuk dalam persaingan dan ketidakadilan sumber daya ekonomi mempunyai power effect untuk melestarikan atau membesarkan prasangka atau stereotif terhadap etnik.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pelacakan adanya konflik sosial bisa terjadi melalui hubungan antarsuku bangsa dan sistem nilai budaya yang memang tidak sama satu sama lainnya. Mempertahankan batas etnis memang dalam realitas kehidupan tampaknya sulit untuk dihindari, kendati kalau dilihat dari sudut pandang integrasi (sosial) sesungguhnya tidak penting atau krusial. Argumennya adalah akan terjadi dengan sendirinya melalui proses isolasi perbedaan ras, perbedaan budaya, perbedaan sosial dan bahkan perbedaan bahasa. Namun yang menjadi persoalannya, bagaimana isolasi-isolasi tersebut tidak menjadi penghambat proses interaksi sosial dalam wilayah kehidupan lebih luas seperti pergaulan sebagai anak bangsa ini. Atau perbedaan-perbedaan etnis/suku dan lain-lainnya, justru menjadi sumber daya bangunan keindonesiaan yang dibingkai oleh kemajemukan tersebut sebagai penyangga integrasi (sosial).

Perbedaan etnis/suku bahkan agama juga menunjukkan ada tidaknya dan atau diterimanya interaksi sosial, sehingga dengan perbedaan tersebut menjadi landasan untuk terciptanya sistem sosial yang merangkum perbedaan-perbedaan yang memang harus dilembagakan dalam pergaulan kehidupan masyarakat bangsa ini, dikarenakan kontak antara etnis/suku yang satu dengan etnis yang lainnya adanya interdependence (s a l i n g ketergantungan).

Konflik dan Konsensus: Ibarat Satu Keping Uang Logam
Para penganut teori konflik dan konsensus, senantiasa berlawanan dalam menjelaskan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Para penganut teori konflik melihat bahwa konsensus sebagai sesuatu yang bersifat “imitasi”, dan bukannya sesuatu yang sebenarnya. Sedangkan penganut teori fungsionalisme/konsensus justru sebaliknya, melihat masyarakat sebagai suatu sistem di mana ada pembagian kerja yang membuat orang-orang saling bekerja sama untuk meningkatkan kemakmuran mereka. Atau dalam bahasa Parsons yang dikutif oleh Paul Johnson (1986), konflik itu merupakan gejala ketegangan yang harus diatasi oleh sistem itu untuk memperhatikan keseimbangannya. Kebutuhan atau kepentingan individu yang mengalami ketegangan, secara konsisten tunduk pada persyaratan sistem keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan stabilitas keteraturan sosialnya.

Konflik merupakan konsekuensi logis dari bangunan sosial seperti Indonesia yang dikonstruksi oleh berbagai kelompok etnis, dan kelompok agama yang berbeda pula. Kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda tersebut, secara alamiah menunjukkan perbedaan-perbedaan sistem nilai dan secara potensial dapat mendorong adanya konflik. Itu sebabnya, menurut Nasikun dalam Soleman B. Taneko (1986) bahwa sedikitnya ada dua macam tingkat konflik yang mungkin terjadi, yaitu (1) konflik di dalam tingkatnya yang bersifat ideologis, dan (2) konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politis.

Itu sebanya, dinamika konflik dalam realitas kehidupan ini sudah tak bisa dihindari lagi akibat perbedaan kepentingan-kepentingan antar individu atau kelompok masing-masing. Dengan perkartaan lain, tidak perlu mencari-cari konflik atau bahkan menghindari terjadinya konflik, namun bila terjadi konflik harus berani menyelesaikannya. Memang, menghidari konflik sesungguhnya sama saja dengan menumpuk-numpukkan konflik itu sendiri dalam masyarakat. Dalam bahasa Loekman Soetrisno (2003) Menghindar dari konflik akan membuka kesempatan untuk terjadinya frustrasi di kalangan masyarakat yang kemudian pecah menjadi suatu konflik yang destruktif. Konflik yang bersifat destruktif inilah yang harus kita hindari.

Seiring dengan pendapat di atas, konflik pada hakekatnya merupakan fakta sosial yang melekat dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat, kendati konflik yang terjadi dalam berbagai lapisan masyarakat senantiasa memiliki derajat dan pola yang berbeda-beda, karena sumber penyebabnya pun tidak sama. Termasuk friksi-friksi di tingkat elit politik mengisyaratkan bahwa konflik tersebut tak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan yang berbeda pula, atau belum adanya titik temunya. Bahkan perilaku politik individu-individu atau kelompok-kelompok baik yang di tingkat elit politik maupun level infrasturktur politik satu sama lain mempunyai hubungan yang relatif sama.

Harus diakui bahwa konflik itu bisa bersifat kontruktif kalau dikelola tanpa kekerasan dan ada pula yang bersifat destruktif manakala dikelola dengan kekerasan. Jadi, memahami konflik adalah merupakan suatu keniscayaan yang mestinya dilembagakan, sehingga konflik yang terjadi dalam pergaulan kehidupan negara bangsa ini mengarah pada strategi perubahan sosial, yakni sebuah konsensus (integrasi sosial) yang berarti dalam tataran empirikya. Keniscayaan memahami konflik sebagai strategi perubahan sosial (integrasi sosial) yang fundamental, merupakan modal utama, agar integrasi sosial yang dibingkai oleh pluralisme sosial atau perbedaan sistem sosial menjadi harapan yang niscaya terjadi.

Dalam pemahaman lain, konflik sosial atau horizontal kendati acapkali menunjukkan kebingungan yang dilatarbelakangi oleh suku, ras, agama dan antar golongan, secara niscaya tidak bisa diredusir dari adanya ketidakbiasaan mengakui pluralistik sosial dalam pergumulan dan sekaligus pergaulan kehidupannya, termasuk juga dalam melakoni aktivitas politik. Ketidakbiasaan itu, memang dalam realitas kebangsaan Indonesia (terutama zaman orde baru), sengaja dikerangkeng, agar persoalan pluralistik sosial tidak perlu diperdebatkan dalam kancah kehidupan politik nasional yang membawa dampak yang berarti ketika koridor kekuasaan otoriter terdobrak oleh tuntutan reformasi. Dalam hal ini, kita dapat menyimak konflik horizontal (baik antara masyarakat dengan masyarakat (seperti konflik Poso, Ambon) maupun konflik vertikal seperti Gerakan Aceh Merdeka dengan Negara.

Seiring dengan uraian di atas, Berghe dalam Soleman B. Taneko (1986) menjelaskan bahwa konflik mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: yaitu sebagai alat untuk memelihara solidaritas; membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain; mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi; fungsi komunikasi. Dengan adanya konflik disadari atau tidak posisi dan batas kelompok menjadi lebih jelas. Nanum Retzer dalam Soleman B. Taneko (1986) mempunyai pemikiran lain dari teori konflik ini, menurutnya bahwa teori konflik terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat, serta norma dan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat.

Begitu pun, David Lockwood dalam Nasikun (2001) menegaskan bahwa dalam setiap situasi sosial senantiasa mengandung dua hal: yaitu tata tertib sosial, yang bersifat normatif, dan sub-stratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik dalam masyarakat melekat bersama-sama, tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai dalam masyarakat justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam masyarakat. Stabilitas sosial atau instabilitas sosial dalam masyarakat menggambarkan derajat keberhasilan atau kegagalan dari tata tertib normatif di dalam mengatur kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.

Ini berarti, dalam bangunan Indonesia “pergolakan” akibat pluralisme sosial tetap belum berakhir, realitas sosial yang majemuk tersebut jelas perlu diberi fungsi yang berarti agar konflik yang menjadi ancaman integrasi sosial menyempit.

Pengelolaan Konflik: Suatu Rekomendasi
Pengelolaan konflik sosial memang dibutuhkan langkah-langkah dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan konflik yang terjadi baik di tingkat elit politik maupun pada infrastruktur masyarakat. Menginventarisir dan sekaligus mengidentifikasikannya isu-isu dan data-data yang eksis ada pada wilayah atau daerah yang sedang berkonflik, yang kamudian, mengidentifikasi tujuan yang sama dengan pertanyaan mendasar mengapa harus menyelesaikan konflik yang ada/ atau sedang terjadi(?) Lalu, menjelaskan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang sedang berkonflik, dengan sasaran mencari persetujuan dan membangun action plan bagi kebutuhan penyelesaian konflik secara damai.

Di dalam masyarakat selalu terdapat dua kategori sosial yaitu mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Dan menurut para penganut pendekatan konflik, kenyataan tersebut di atas menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan/ berbeda yang pada akhirnya menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Dengan pengertian lain, menunjukkan bahwa pada dasarnya dalam masyarakat dan negara, senantiasa konstan mengandung unsur-unsur perubahan ke arah integrasi sosial baik itu melalui konflik yang dipahami sebagai faktor terjadinya perubahan tersebut maupun konflik bisa menjadi ancaman yang signifikan, kalau memang dipahami dari sudut pandang bahwa dengan konflik “membabibutakan” adanya menghalalkan segala cara atau dengan konflik justru disalahgunakan untuk kepentingan yang sempit dan sesaat seperti dengan mengkampanyekan kebencian dan permusuhan.

Koentjaraningrat dalam Taneko (1986) berpendapat bahwa sumber-sumber untuk konflik antara golongan pada umumnya dalam negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, ada paling sedikit lima macam, yaitu:
a. Konflik dapat terjadi bila dua kelompok sosial yang berlawanan masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup.
b. Konflik terjadi bila dua kelompok sosial mencoba memaksakan unsur-unsur kebudayaannya.
c. Pemaksaan konsep-konsep agama pada kelompok sosial yang berbeda agama.
d. Mendominasi kelompok lain secara politis.
e. Potensi konflik terpendam ada bila dalam hubungan antar kelompok sosial telah bermusuhan secara adat.
Pengelolaan konflik yang bijak namun adil merupakan keniscayaan yang harus dikelola dengan konstruktif yang tanpa mengabaikan anasir-anasir akar persoalan konflik itu sendiri dalam masyarakat, agar konflik yang destruktif terabaikan oleh karena adanya penyelesaian secara damai dan membumi bagi kelompok yang sedang berkonflik.

Seiring dengan paparan di atas, bentuk-bentuk pengendalian konflik sosial yang paling krusial menurut Nasikun (1985) adalah dengan konsiliasi (conciliation). Pengendalian dengan cara konsiliasi dapat terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan di antara pihak-pihak yang bertentangan. Lembaga-lembaga yang dimaksud dapat berfungsi, harus memenuhi sedikitnya empat hal berikuti:
1. lembaga-lembaga tersebut harus otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan
2. kedudukan lembaga-lembaga tersebut harus bersifat monopolistis
3. peranan lembaga-lembaga tersebut dapat menampung kepentingan yang berlawanan satu sama lain dan mengikat kelompok-kelompok tersebut beserta dengan anggotanya
4. lembaga-lembaga tersebut harus demokratis, dimana setiap pihak harus didengarkan dan diberi kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapat -pendapatnya sebelum keputusan diambil.

Selain adanya lembaga-lembaga seperti yang disebutkan di atas, maka kelompok yang saling bertentangan itu juga harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. masing-masing kelompok menyadari adanya situasi konflik di antara mereka
2. kelompok sosial yang terlibat dalam konflik harus terorganisir dengan jelas
3. adanya komitmen untuk mematuhi aturan-aturan permainan tertentu.
Cari pengendalian tersebut disebut dengan mediasi, yaitu dengan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik. Cara ketiga dalam pengendalian konflik yaitu melalui perwasitan (arbitration), dalam hal ini kedua pihak yang berkonflik menerima hadirnya pihak ketiga yang akan mengatur penyelesaian konflik tersebut. Ini berarti, bahwa penyelesaian konflik secara damai mesti dilakukan oleh pihak ketiga/ lembaga yang ditunjuk oleh kedua belah pihak yang sedang berkonflik, agar lembaga atau pihak ketiga tersebut tidak dicurigai oleh kelompok-kelompok yang sedang bertikai.

Dinamika konflik yang ada pada masyarakat Indonesia, adalah merupakan pengalaman yang nyata untuk mengelola dinamika konflik tersebut, pertama dan terutama adalah m e m a h a m i akar persoalan konflik sosial yang terjadi, sehingga penyelesaian konflik atau rekonsiliasi sosial dapat dilakukan dengan proses dialog. Akan tetapi, secara niscaya untuk menjawab kebutuhan dan keinginan kelompok yang sedang berkonflik tersebut dibutuhkan adanya kesungguhan dari kelompok yang sedang berkonflik, juga adanya kebutuhan akan hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Dengan begitu, konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dapat dibangun dengan adanya interaksi sosial antar kelompok dengan baik. Karenanya, masa depan Indonesia pun tidak luput atau ditentukan oleh hubungan antar kelompok sosial yang ada.

Dengan demikian, untuk menjawab resolusi konflik tiada lain dibutuhkan strategi memahami kebutuhan/ kepentingan kelompok yang sedang berkonflik. Menurut J. Paul Ladirach y a n g dikutif Chusnul Mar’iyah, proses rekonsiliasi penting untuk dilakukan, yang menyangkut: a) Truth (kebenaran). Adanya pengakuan, transparansi dan kejelasan mengenai persoalan/ issue yang menjadikan kelompok-kelompok tersebut berkonflik. b) justice (keadilan), menyangkut kesamaan hak-hak yang dipenuhi. c) mercy ( pemanfaatan). Penerimaan, dukungan, healing, kesabaran.d) peace (perdamaian). Adanya harmoni, kesejahteraan, respek, dsb.

Itu sebabnya, benturan-benturan kepentingan baik antar elit politik maupun antar kelompok masyarakat, mestinya dikelola dengan arif, karena merupakan suatu keniscayaan yang harus diselesaikan dengan baik, tanpa merugikan atau mengorbankan kelomopok yang satu dan menguntungkan kelompok yang lain. Sehingg penyelesaian konflik berada dalam koridor atau konfigurasi dialog secara terbuka dan terus menerus untuk menemukan dan sekaligus mengidentifikasikan kepentngan bersama■

Daftar Pustaka
John Rex, 1985, Analisa Sistem Sosial. Bina Aksara, Jakarta
Lea Jillinek, 1987, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial SebuahKampung di Jakarta, Jakarta, LP3ES.
Mar’iyah, Chusnul, 2000, Memahami K o n f l i k dan Pengelolaan Konflik Secara Konstruktif (artikel) dalam Majalah Transformasi, edisi April
Maliki, Zainuddin, 2003, Narasi Agung Tiga Teori Sosial H e g e m o n i k, LPAM, Surabaya
Nasikun, 1986, Sistem Sosial I n d o n e s i a, Fisipol Universitas Gajah Mada
Paul Johnson, Doyle, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (jilid1 & 2), (di Indonesiakan oleh: Robert M.Z. Lawang), Jakarta,Gramedia.
Poloma, Margaret M., 2003, Sosiologi Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soetrisno, Loekman, 2003, Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia, T a j i d u Press,Yogyakarta
Sanderson, Stephen K., 2000, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan T e r h a d a p Realitas Sosial ( e d i s i Kedua), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Taneko, Soleman B., 1986, Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, CV Fajar Agung.

(Tulisan ini dimuat pada Jurnal Administratur, Vol. 1, No.1, Agustus 2006
ISSN 1907 – 5502)

Kesenjangan Persepsi Pembangunan Perkotaan

PEMBANGUNAN sesungguhnya merupakan never ending process (proses yang tak pernah berakhir), kendati Orde Baru telah gagal mempertahankan kesinambungan (sustainability) dalam pembangunan. Bahkan ada yang mengatakan perjalanan pembangunan selama tiga dasawarsa lebih berujung kepada "Dead-end" (akhir yang mematikan/mengalami jalan buntu), karena memang, Orde Baru menjadi monolitik dan otoriter secara politik, begiotupun ekonomi dikuasai segelintir pelaku bisnis, yang akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang menganga tak bisa dielakksan.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tampaknya telah menjadi "ideologisasi" rezim selama tiga dasawarsa lebih yang menuntut adanya penyeragaman dalam pembangunan, seperti misalnya desa di seluruh Indonesia diseragamkan (unifikasi) tata cara pengelolaan dan penamaannya. Padahal, kalau kita akui secara jujur, bahwa penyeragaman (unifikasi) menjadi tidak terpat, karena selain mengingkari falsafah bangsa: Bhinneka Tunggal Ika, juga mengingkari fakta sosialnya bahwa keunggulan tersebut ditentukan oleh kekayaan beragam (pluralistik) yang dimiliki oleh negeri ini.

Dari realitas penyeragaman tersebut, disdari atau tidak, stabilisasi dijadikan "tujuan" dan bukan "cara" oleh rezim selama itu dalam pembangunan, sehingga partisipasi masyarakat dikerangkeng atau ditekan, bahkan lebih ekstrim lagi dikorbankan semata-mata demi stabilitas, kendatipun stabilitas seperti penganjur pembangunan politik terpopuler Samuel Huntington, mengatakan bahwa stabilitas sebagai syarat pembangunan, khususnya ketika lembaga-lembaga politik belum siap. dalam arti lain, manakala partisipasi politik rakyat yang terlalu tinggi, sedangkan lembaga-lembaga politik belum siap (atau masih muda), maka diyakini tidak akan mampu menampung partisipasi tersebut, sehingga dibutuhkan stabilitas, namun kekeliruan fundamental adalah meletakkan militer sebagai kunci dari stabilitas.

Pemaksaan konsep pembangunan itulah, diakui atau tidak, penggusuran demi penggusuran baik tempat tinggal maupun tempat usaha kaum miskin, secara niscaya telah menjadi aktivitas ritual rezim selama itu, bahkan mungkin juga dewasa ini dalam mengejawantahkan makna pembangunan. Karena memang pembangunan selama ini (kerapkali) memperioritaskan penggemukan pendapatan nasional secara agregatif, sehingga pertumbuhan ekonomi dengan syarat stabilitas politik menjadi referensi perioritas dalam pengejaran target pembangunan tersebut. Sedangkan dimensi-dimensi lainnya seperti keadilan sosial (atau pemerataan), aspek manusianya dan muatan-muatan lokal yang dimiliki oleh negeri ini, tertinggalkan atau memang sengaja ditinggalkan.

Seiring dengan itu, pembangunan perkotaan sebagai konsep sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan stratifikasi ekonomi yang heterogen atau sebagai suatu tempat pertemuan yang berorientasi ke luar, tata ruang perkotaan pun sebagai tempat pemukiman yang tetap dan memiliki "magnit" tertentu bagi penghuni-penghuninya termasuk penghuni-penghuni di luar kota untuk mengadakan kontak, baik itu dalam perdagangan maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Namun persoalan mendasarnya, apakah pembangunan perkotaan (dewasa ini) benar-benar menyentuh pada kepentingan umum (rakyat banyak) sebagai pusat pemerintahan (?) Dan bagaimana obyektivitasnya dengan sentuhan-sentuhan lokal atau kontektual alamiah demografinya (?).

Pada tataran inilah, obyektivitas pembangunan perkotaan secara niscaya patut dielaborasi, karena kota adalah merupakan tempat pemukiman secara aglomer (kumulatif), yang merupakan suatu wilayah dengan paling tidak ciri-ciri fisaik, pemukiman manusia, pusat pemerintahan dan perniagaan yang dalam hubungannya bersifat sekunder.

Reaksi Sosial
Paradigma pembangunan (kota) di Indonesia memang masih dihadapkan pada akumulasi pertumbuhan dalam bentuk fisik sebagai faktor determinan pendapatan pemerintah (dengan APBN/APBDnya). Atau, dalam bahasa Arief Budiman (2000), Di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.

Sehingga dari konstatasi konsep pembangunan tersebut, memang disadari atau tidak, pembangunan pun memunculkan reaksi-reaksi yang berkepanjangan dari masyarakat. Model pembangunan yang "ditancapkan" dalam negara Indonesia (khususnya pembangunan perkotaan) , tampaknya tidak lepas dari pendekatan keamanan untuk menyelenggarakan dan atau mewujudnyatakan pembangunan sebagai justifikasi bahwa pertumbuhan ekonomilah yang menjadi sasaran target capaiannya, sedangkan pemerataan atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial terabaikan.

Strategi pembangunan dengan pedenkatan konvensional yang dikenal dengan konsep pertumbuhannya, nyata-nyata telah menjadi kiblat pembangunan selama ini. Pendekatan ini, cenderung mengutamakan pertumbuhan output sebagai ukuran keberhasilan. Dengan perkataan lain, pendekatan ini mampu mendobrak keterbelakangan dan mencapai tingkat kemajuan, dikarenakan masalah pembangunan acapkali diukur oleh keberhasilan pembangunan ekonomi yang bersifat agregatif. Namun demikian, keberhasilan pembangunan tersebut, tidak harus merasa puas, karena disadari atau tidak, usaha pembangunan dengan pendekatan tersebut, umumnya dan khususnya tiga dasawarsa lebih dalam negara Indonesia, justru memperlihatkan dan atau dihinggapi oleh penderitaan, kemiskinan dan jurang antara kaya dan miskin maih tetap lebar.

Itu sebabnya, berbagai alasan dikemukakan, kenapa pembangunan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, baik itu alasan yang bersifat ekonomi, sosial, ideologi bahkan historis. Dan pelajaran yang harus kita petik dari itu semua, tampaknya tidak berlebihan bila kita mengakuinya bahwa memang telah gagal pertama dan terutama dalam menangani persoalan kemiskinan (termasuk kemiskinan di perkotaan).

Dari kegagalan itu, merangsang orang untuk melacak dan menggali teori-teori "pembangunan" sebagai alternatif menjawab keniscayaan pembangunan yang membebaskan kemiskinan dan menyadarkan pada kepentingan semua dimensi, tidak hanya yang bersifat "matematis-ekonomi". Itu sebabnya, pendekatan pembangunan tidak diukur dari indikator ekonomi semata, melainkan mencakup semua aspek kehidupan. Dengan perkataan lain, paradigma pembangunan yang selama ini menghantui pikiran kita dengan konsepsi pertumbuhan ekonominya, misalnya paradigma ekonomi-moneter yang menjustifikasi tujuan pembangunan menjadi pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sehingga disadari atau tidak, ada pembenaran yang signifikan, yaitu "menghalalkan" adanya ketimpangan. Maksudnya, dengan adanya ketimpangan memberikan peluang yang berarti bagi kaum atau golongan atas untuk menciptakan productive base bagi pembangunan. Sedangkan pemerataan hanya sekedar lip service, bahkan menjadi momok bagi pembangunan.

Reaksi-reaksi sosial itulah, merupakan realitas yang tak bisa dibantah belakangan ini, bahkan gelombang dan tuntutan reformasi pun, secara niscaya merupakan antitesis dari realitas kehidupan yang selama ini "menghianati" persoalan-persoalan sosial budaya negara bangsanya dan sejenisnya. Kemiskinan khususnya di Indonesia bukanlah masalah individual, melainkan jelas-jelas sebab-akibat boboroknya tatanan sosial, ekonomi dan bahkan lebih ekstrim lagi akibat tirani elit-elit politik di negara ini.

Proses pembangunan, hingga kini pun, masih saja dimensi sosial budaya dan sejenisnya sebagai suplemen pembangunan ekonomi. Padahal, dimensi-dimensi tersebut merupakan dimensi fundamental pembangunan. Dalam perkataan lain, persoalan sosial budaya merupakan persoalan yang harus dipahami dalam tatanan yang intrinsik untuk mengejawantahkan pembangunan. Itu sebabnya, ia membutuhkan suatu "rekayasa sosial" dalam menjembatani perubahan-perubahannya, atau dapat merombak tatanan dan institusi-institusi sosial sehingga mampu menghasilkan suatu masyarakat yang mandiri, dan terbuka. Makna penting pembangunan secara niscaya harus menyentuh pada semua kepentingan. Artinya, dapat dikatakan bahwa pembangunan bidang sosial politik, sosial ekonomi, bahkan pertahanan dan keamanan dapat berhasil dengan baik apabila dilandasi terlebih dahulu pembangunan sosial budaya. Tidak hanya sekedar suplemen/pelengkap saja.

Memang, masalah sosial mempunyai efek reaksi berantai, karena hal ini biasanya akibat dari masalah sosial sebelumnya dan berinteraksi dengan faktor-faktor sebelumnya, kemudian tumbuh berkembang sebagai deret ukur. Sebagai contoh masalah kemiskinan, penggunaan narkoba, dan perkelahian antar pelajar termasuk kejahatan terhadap anak-anak.

Untuk itu, adanya perubahan sosial tidak bisa lepas dari adanya perubahan individu, atau perubahan individu merupakan bagian integral dari adanya perubahan sosial. Dengan begitu, perubahan sosial bagaimana pun, kita harus melihat dan menyimak dari adanya atau dimulainya perhatian dari perubahan individual dengan mengubah sikap individu. Contoh misalnya menempelkan stiker di bis-bis atau angkot dengan kalimat yang pendek: Kendalikan/kendarai mobil ini dengan enak, tidak seenaknya. Dalam contoh ini target kampanyenya adalah untuk mengubah sikap setiap individu masyarakat terhadap yang membawa/mengendarai mobil.

Reaksi-rekasi sosial itulah, merupakan suatu sikap nilai individu yang mempengaruhi perilaku kelompok, dan sosial kemasyarakatan, karena itulah yang pada pokoknya harus diperjuangkan ialah kemampuan untuk berkembang baik secara sosial, ekonomi maupun politis dalam semua tingkatan dan semua komponen masyarakat, sehingga memungkinkan bangsa bersangkutan (Indonesia) "survive" di tengah-tengah dunia yang tidak stabil dan makin tunduk pada persaingan. Itu sebabnya, peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, tidak hanya sekedar beradaptasi diri pada perubahan, akan tetapi secara niscaya harus mengarahkan perubahan tersebut agar sesuai dengan tujuannya untuk kepentingan semua (bonnum commune).

Kesenjangan Persepsi dan Krisis Orientasi
Pembangunan ada sangkut paut dengan perubahan. Dan hal ini jauh lebih mendasar ketimbang yang disangkakan semula, karenanya usaha pembangunan merupakan suatu upaya untuk menuju sasaran yang dinamis. Arus perubahan merupakan akibat dari proses pembangunan itu sendiri, pengaruh teknologi, pola pertumbuhan yang tidak merata, masuknya kebudayaan dan nilai-nilai asing. Juga, perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam scope nasional maupun internasional merupakan sarana-sarana pembangunan, seperti meliputi kepadatan penduduk yang makin besar, keasadaran politik yang makin meningkat, termasuk perubahan-perubahan gaya hidup dan lain sejenisnya.

Dalam pemaknaan pembangunan, memang adanya reaksi-reaksi baik reaksi yang "pendek"/spontan untuk mendesain perencanaannya karena memiliki hubungan yang erat dengan reaksi berikutnya (reaksi panjang/berantai). Reaksi pendek tersebut merupakan fundamen dasar dalam penataan perubahan sosial yang diarahkan atau diantarkan menuju reaksi berantai yang cukup memberikan harapan yang baik atas perubahan tersebut. Namun demikian, pembangunan yang diidealkan untuk kepentingan rakyat banyak atau disandarkan bagi kesejahteraan umum, pada realitasnya hanya menyuguhkan kepentingan-kepentingan untuk kelompok kecil saja. Dalam arti, bahwa model pembangunan apapun pendekatannya yang disandarkan pada semua lapisan masyarakat untuk dapat menikmatinya, justru dalam realitasnya masih banyak rakyat tidak dapat menikmati "kue" pembangunan. Persenyawaan teori modernitas dalam realitasnya, diakui atau tidak, menggiring monopolistik di atas kemajemukan (pluralistik) tingkatan ekonomi. Maksudnya, pengkavlingan tuntutan pragmatis pembangunan yang kian materialistik dengan aspirasi-aspirasi morlaitas pembangunan yang demokratis atau pembangunan yang berwajah keadilan sosial (pemerataan), senantiasa berhadap-hadapan (via a vis).

Memang, persoalan pembangunan erat kaitannya dengan moralitas, moralitas merupakan salah satu nilai masyarakat yang mengatur tingkah laku manusia. Itu sebabnya, apabila masyarakat memandang sesuatu sebagai masalah sosial, maka biasanya masyarakat akan memandang atau bahkan merasakannya bahwa sesuatu perlu diatasi. Berarti, persoalan pembangunan merupakan resultante dari berbagai aspek yang berada dalam masyarakat, yang satu sama lain saling memperkuat bahkan bisa juga saling menambah parahnya persoalan, ketika memang tidak ada kejelasan dan hanya sekedar mengejar bahwa wujud pembangunan tidak terkait dengan persoalan "ekologi daerah"nya.

Ketimpangan atau kesenjangan dari hasil pembangunan itu sendiri menyodorkan kesenjangan persepsi dan krisis orientasi pembangunan. Artinya, yang kaya semaklin kaya, dan yang tidak berdaya semakin tidak berdaya, padahal makna yang disodorkan oleh jargon pembangunan, baik secara subyektivitasnya maupun obyektivitasnya, secara niscaya tetap adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Dan secara dasariah, keniscayaan mengeliminir gejolak-gejolak dan kekerasan-kekerasan, nyata-nyata diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, namun fakta sosialnya, senantiasa kekerasan atau pembuldozeran oleh kpenetingan-kepentingan sistem kekuasaan dan konglomerat. Apakah itu soal buruh, tanah, bahkan kita mungkin masih ingat kasus Hendri Ali sang pemilik rumah dan pekarangan di wilayah Jabotabek. Sampai tiga kali dia pindah rumah karena terkena penggusuran, dan terakhir mempertahankan miliknya dengan membuat sebuah kemah. Kasus Kacapiring di Bandung, kasus Kedong Ombo yang dijadikan sebuah proyek Waduk di Jawa Tengah, kasus Nipahdi Jawa Timur, termasuk penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) nyaris di smeua kota, daerah resapan air di Babakan Siliwangi (baca: Kondommium), dirambahnya hutan konservasi menjadi pemukiman dan lain-lainnya. Tampaknya, menjadi kegiatan rutinitas aparat pemerintah yang menampakkan wajah kebrutalan penguasa melukai hati rakyat sendiri dan tidak melestarikan daerah-daerah yang semestinya bukan untuk pembangunan perumahan/pemukiman (seperti Villa) malah dirambah hanya mengejar pertimbangan kepentingan ekonomi an sich.

Adanya keresahan dan ketidakpuasan rakyat, pertama-tama dan terutama lapisan bawah, karena senantiasa menjadi tumbah pembangunan selama ini. Memang, sebagiamana dikemukakan Arief Budiman, bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain. Saya teringat cerita yang dikisahkan oleh Bapak Selo Sumardjan. Dia pernah terdampar di sebuah kota kecil di luar Jakarta, dan sempat berbicara dengan seorang penduduk miskin di sana. Dia bertanya, dari mana orang itu datang. Jawab si penduduk: "Saya dulu tinggal di Jakarta. Tetapi, karena ada pembangunan, saya terpaksa mengungsi kemari". Bagi orang ini, dan bagi banyak orang kecil yang senasib dengannya, pembangunan merupakan sebuah malapetaka yang mendamparkan hidup mereka.

Polarisasi rakyat terhadap pemerintah di satu sisi, tampaknya merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa diabaikan, ketika persoalan pembangunan hanya menjadi model penderitaan bagi rakyat terutama lapisan bawah. Akibatnya, dari optik itulah, disorganisasi sosial mempunyai korelasi yang tidak kecil dengan kejahatan, manakala tata nilai moralitas pembangunan diabaikan. Juga, disorganisasi sosial menyebabkan orang bersikap acuh tak acuh, merasa dirinya tidak berdaya terhadap ancaman pihak yang lebih kuat, sehingga dari sini terjadi pengasingan manusia dari manusia yang lain. Sedangkan di satu sisi, dengan sistem kekuasaannya, pemerintah dengan mainsteam pembangunan diasumsikan dengan melanggar peraturan atau melakukan kejahatan sudah merupakan suatu hal yang dibanggakan atau terpuji dalam melakoni pembangunan. Artinya, kearifan pembangunan diabaikan, bahkan tidak peduli lagi melihat aspek-aspek alamnya dan sosial budayanya, mana untuk pembangunan (dalam arti fisik), dan mana saja untuk daerah-daerah perniagaan, pemukiman, dan daerah-daerah konservasi hutan dan lain-lainnya.

Political will pemerintah yang tidak berpijak pada kepentingan-kepentingan yang lebih luas, namun hanya pertimbangan pendapatan saja, mengakibatkan pergeseran makna pembangunan yang sesungguhnya. Artinya, bahwa pembangunan tidak hanya sekedar mengejar target-target pendapatan saja (baca: PAD), melainkan pembangunan tersebut, adalah memerlukan kepekaan terhadap semua lingkungan baik sosial budaya, politik, ekonomi dan lingkungan-lingkungan alam sebagai penyangga ekosistem. Pendek kata, sensibilitas memahami pembangunan terfungsionalisasikannya semua elemen-elemen pembangunan dan aspek-aspek yang mengitarinya.

Obyektivitas Pembangunan Perkotaan
Logika-logika di balik penggusuran demi pembangunan, tampaknya telah menjadi ideologi para penguasa. diskriminasi dan disparitas antara kaum kaya dan miskin telah menjadi pemaknsaan pembangunan selama ini. Sehingga kalau saja pembangunan tidak berhasil seperti dalam menangani persoalan banjir, kesemrawutan kota dan lain-lain, justru yang menjadi kambing hitamnya adalah mereka rakyat miskin dan pedagang di pasar inpres atau PKL.

Memang, sejumlah konsep pembangunan muncul untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pembangunan (perkotaan), sehingga terdapat dua kelompok besar pemikiran pembangunan yang satu sama lain memang tidak lepas dari benturan-benturan. Kelompok tersebut adalah kelompok strukturalis dan kelompok kulturalis. Kelompok kulturalis memandang bahwa pembangunan merupakan baghian yang tak bisa dielakkan dengan focus of interestnya adalah persoalan budaya, agar masyarakat dan pemerintah mampu merajut makna pembangunan yang memang benar-benar bersentuhan dengan kepentingan dan kesejahteraan umum. Sedangkan kaum strukturalis melihat bahwa kelemahan strukturallah mengakibatkan keterbelakangan terutama negara-negara berkembang. Dan tampaknya, kedua pendekatan tersebut satu sama lain mengedepankan egonya masing-masing, sehingga adanya dominasi-subordinasi dalam pengejawantahan pembangunan.

Idealitas pembangunan (perkotaan), tak hanya sekedar "bersih" dari lapisan masyarakat bawah dan pasar inpres, namun idealitasnya justru adanya keseimbangan ekologis dalam semua aspek kehidupan, baik itu ruang politik, ekonomi, sosial dan budaya, temrasuk lingkungan lam sekitarnya. Ruang publik sebagai perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan merupakan bagian integral untuk memperkukuh bahwa memang kota merupakaqn pusat pemerintahan, perniagaan, pemukiman dan tempat belajar. Itu sebabnya, terutama di era demokrasi ini, di satu sisi pemerintah harus transparan dalam merajut makna pembangunan untuk semua, dan di sisi lain, rakyat ikutserta terlibat sebagai manifestasi sense of bilonging pembangunan yang menyentuh pada kearifan pembangunan untuk smeua warganya.

Masalah-masalah pembangunan dengan rekasi pendek, memang dapat dikatakan relatif, namun dalam pemaknaan ini dimaksudkan bahwa masalah tersebnut cepat teratasi dengan dukungan fasilitas (sarana dan prasarananya) dan tidak menjalar atau "memvirusi" yang membentuk masalah-masalah sosial baru. Dan, apabila masalah sosial reaksi pendek tidak teratasi, bahkan sudah akut menjadi masalah sosial dengan reaksi berantai/panjang, disadari atau tidak menjadi akumulasi yang tak terbantahkan menjadi letupan persoalan sosial.

Dengan demikian, sebab-musabab krisis orientasi dan kesenjangan persepsi dalam pembangunan, karena memang adanya benturan kepentingan antar pemerintah dengan rakyat. Pihak pemerintah beranggapan bahwa dalam pembangunan (terutama dengan kota metropolitannya), tampaknya, penggusuran menjadi proyek yang diciptakan. Artinya, praktik penggusuran tanah, rumah kaum miskin mengisyaratkan bahwa pemerintah pun dalam memahami dan memaknai pembangunan acapkali dengan logika-logika yang menjadikan rakyat sebagai "tumbal" pembangunan.

Itu sebabnya, perkara pembangunan sebagai proses sosial yang direncanakan atau direkayasa, secara niscaya ditempatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan berkisar pada bagaimana mengubah masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya, sehingga persoalan pertumbuhan yang senantiasa menjadi perioritas utama yang mengakibatkan kesenjangan atau pemerataan tak tersentuh, maka kearifan pembangunan tidak hanya sekedar pertumbuhan melulu, melainkan menyentuh pada semua aspeknya, baik itu sosial budaya, politik, dan persoalan-persoalan tata ruang yang harus konsisten dipertahankan, bukan semata-mata kepentingan memenuhi kebuituhan kelompok tertentu (pebisnis misalnya), sehingga semata-mata pendapatan asli daerah (pertumbuhan), hutan konservasi dirambah menjadi permukiman, daerah resapan air dibangun menjadi apartemen.

Dengan demikian, pembanguna perkotaan, adalah merupakan permasalahan moral, karenanya nilai-nilai dalam pembangunan sangat erat hubungannya dengaqn struktur masyarakatnya. Artinya, perbedaan moralitas masyarakat dengan pemerintah tatkala bersentuhan memang tidak menutup kemungkinan adanya gesekan atau benturan nilai-nilai atas cara pandang mengenai pentingnya pembangunan. Namun, persoalan cara pandang itu, secara niscaya berakibat pada frustasi bahkan kalau hal seperti ini larut tidak menemukan jalan pemecahannya akan mengakibatkan adanya rasa asosial. Akibat rasa asosial itulah disorganisasi masyarakat/sosial dapat terjadi bila memang masing-masing tidak adanya kesepahaman untuk memecahkan persoalan lingkungan (pembangunan perkotaan) secara bersama-sama.

Catatan Penutup
Kondisi riil masyarakat, pemeirntah, dewan (DPR/D) terkotak-kota, sehingga obyektivitas pembangunan perkotaan menjadi sebuah keniscayaan dan perlu dielaborasi lebih lanjut. Namun demikian, pelembagaan dan pemasyarakatan secara terus menerus nilai-nilai pembangunan atau kearifan pembangunan tidak bisa lepas dari adanya kepedulian dan konsistensi terhadap muatan-muatan yang mengitarinya, seperti persoalan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan sejenisnya.

Dengan begitu, problematika pembangunan antara reaksi pendek dan reaksi berantai merupakan dwitunggal yang tak bisa dipisahkan. Satu sama lain bisa saling mengisi bisa juga menghambat, kalau saja perencanaan pembangunan tersebut bersifat parsial/sepihak. Itu sebabnya, pemaknaan pembangunan yang masih menjadikan dimensi-dimensi lainnya (seperti sosial budaya, politik, lingkungan alam) sebagai suplemen, tampaknya dewasa ini, secara niscaya patut memberikan keniscayaan pembangunan yang arif untuk menyentuh semua kepentingan sebagai fundamen dasar pembangunan. Karenanya, strategi perencanaan pembangunan yang menyejahterakan rakyat, sesungguhnya mempunyai makna yang pragmatis**

Daftar Pustaka
Budiamn, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dieter Evers, Han, 1985, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP3ES, Jakarta.
Gilbert, alan & Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Nugroho D., Riant, 2003, Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Gramedia, Jakarta.
Sairin, Sjafri, 2002, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sujatmoko, Jujun S. Suriasumantri, Soejito Sosrodihardjo, dan Moeljanto Tjokrowinoto, 1987, Masalah Sosial Budfaya Thun 2000 (Sebuah Bunga Rampai), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Zahnd, Markus, 1999, Perencanaan Kota Secara Terpadu: Teori Perencanaan Kota dan Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta.

(Tulisan ini dimuat pada Buletin Anggaran Bujet, Edisi 03/Th III/ April-Mei 2005)