Senin, 20 Februari 2012

Jumat, 10 Februari 2012

Mengelola Berlian Bernama Sampah

Oleh Silahudin
SAMPAH dalam pandangan umum, merupakan barang yang terbuang atau tidak terpakai lagi dari berbagai sumber, baik yang datangnya dari rumah tangga, pertanian, perkantoran, perusahaan, rumah sakit, restoran, pasar, dan lain-lain.
Padahal, seperti dalam Fokus Inilah (17/01/2012) “memperlakukan sampah sebagai teman, dan mengelolahnya menjadi sesuatu yang berguna, niscaya sampah tidak akan lagi menjadi ancaman, tapi sebaliknya akan bermanfaat. Bukan hanya  untuk diri sendiri tapi berperan penting dalam mengurangi pencemaran lingkungan.”
Dalam konteks kehidupan modern dewasa ini, secara niscaya sumber-sumber sampah semakin banyak dihasilkan. Akibat sampah pula, tidak jarang kehidupan kita terganggu dengan bau busuknya sampah tersebut di antaranya. Bahkan, disadari atau tidak, banyak dari kalangan pemerintah daerah yang kurang mampu mengatasi atau menanggulangi persoalan sampah. Masalah sampah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam merajut perbaikan mekanisme pemerintahan dengan kewenangannya.
Pemisahan sampah organik dan non organik pun masih menjadi masalah, entah karena kurangnya sosialisasi atau memang belum ada kesadaran dari semua lapisan masyarakat dalam hal pemisahan jenis sampah tersebut, atau pula karena bisa saja di rumah-rumah penduduk tersebut hanya cukup dengan membungkus saja. Padahal, pemisahan jenis sampah pun mestinya menjadi pekerjaan pula bagi pemerintah dalam mensosialisasikannya, sehingga tumbuh kesadaran kolektif dari semua warga di dalam persoalan sampah tersebut.
Gundukan sampah seperti di tempat pembuangan sementara (TPS) senantiasa dari hari ke hari menjadi pemandangan kita, kendati itu selalu diangkut mungkin setiap hari, tetapi hal itu bukan satu-satunya untuk mengatasi persoalan penumpukan sampah. Justru harus ada terobosan budaya dari pemerintah dan masyarakat bersama-sama untuk mengatasi persoalan sampah. Masyarakat dilibatkan di dalam pengelolaan sampah, agar sampah yang dianggap sebagai barang yang tidak berguna lagi, justru perlu pemahaman kembali akan pentingnya pengelolaan sampah sebagai bagian dari mengatasi penunmpukan sampah tersebut.
Itu sebabnya, tidak berlebihan bahwa cara pandang kita terhadap objek yang bernama sampah pun harus diubah. Sejatinya persoalan persampahan ini tidak disimplikasikan sekadar barang atau sesuatu yang harus disingkirkan dan tidak berguna lagi, justru sebaliknya harus dipandang pula sebagai bagian kehidupan kita yang dapat berfungsi positif bila memang dapat difungsikan kembali dari sesuatu barang yang dianggap tidak berguna tersebut (seperti misalnya dijadikan kompos untuk jenis sampah tertentu).
Sampah sesungguhnya merupakan konsekuensi yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Volume sampah pun simetris atau sebanding dengan tingkat konsumsi kehidupan kita terhadap sesuatu barang yang memang kita gunakan, bahkan diakui atau tidak dengan peningkatan jumlah penduduk berpengaruh sangat krusial terhadap jumlah volume sampah itu sendiri.
Kesadaran kolektif semua elemen masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan atau penanganan sampah tentu saja menjadi bagian yang berharga di dalam penanggulangan persampahan yang sudah menjadi persoalan kita sebagai masyarakat dan pemerintahan. Di tengah kotor, bau tidak sedap, menjijikan, tidak berguna, termasuk berbahaya bagi kesehatan tentang sampah, sesungguhnya menyimpan berlian kehidupan bagi penyelamatan lingkungan dan umat manusia.
Memahami makna sampah tidak sekadar barang yang tidak berguna lagi, tapi justru sebaliknya sampah mempunyai makna yang fungsional mutlak diperlukan. Itu sebabnya, beberapa model pengelolaan sampah mulai dari basis rumah tangga hingga ke level kewenangan pemerintah tampaknya menjadi kebutuhan segera. Di samping itu, sangat mendesak adalah kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dalam pengelolaan sampah, sehingga tak lagi menjadi masalah di kemudian hari. Dengan demikian, pengelolaan sampah oleh pemerintah yang merupakan bagian pelayanan yang krusial diharapkan dapat lebih efektif.*

Tulisan ini dimuat di INILAH KORAN, MINGGU, 22 Januari 2012

Rabu, 25 Januari 2012

Menyoroti Partnership Building Reformasi Polri

Oleh Silahudin

DORONGAN objektif maupun subjektif terhadap pembenahan rezim Polri, secara niscaya, terus menerus disuarakan oleh berbagai kalangan. Entah itu berupa hujatan-hujatan yang acapkali (kalau tidak selalu) muncul, karena Polri dianggap tidak peka terhadap kemauan publik. Bahkan secara kultur Polri masih elitis dan bertindak militeristis. Padahal, Polri sebagaimana dimanatkan Undang-Undang Dasar 1945, menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi.

Pertanyaannya, bagaimana dengan grand strategy reformasi birokrasi Polri? Apakah sudah terinternalisasi reformasinya itu, atau jangan-jangan reformasinya itu sekadar lip service dan tidak membumi terhadap perilaku Polri itu sendiri? Sementara sikap “gagah-gagahan” terus terulang seperti kasus kekerasan di Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) dan Sape, Bima (Nusa Tenggara Barat).  Catatan kecil ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali atas agenda reformasi birokrasi Polri itu sendiri.

Grand strategy reformasi birokrasi Polri, sebagai titik pijak memulihkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik merupakan energi bagi Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Persoalannya, Polri berada pada titik nadir krisis kepercayaan publik, sehingga upaya memulihkannya harus sungguh-sungguh membumi dalam perilaku Polri itu sendiri. Dengan perkataan lain, sudah sejauhmana reformasi birokrasi Polri yang dikenalkan dalam tahap pertamanya, yaitu  trust building.

Trust building sebagai agenda pembenahan Polri tahap pertama, patut dikritisi. Apakah sudah dipahami dan terinternalisasi pada semua lapisan di tubuh kepolisian (?) Tanpa dipahami dan terinternalisasi, sangat sulit melangkah ke tahap berikutnya. Itu sebabnya, membangun kepercayaan masyarakat menuju Polri yang mandiri, profesisonal dan dapat dukungan publik tentu saja patut dikembalikan lagi kepada kepolisian itu sendiri.  Mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi ini, hakikatnya adalah menata ulang kelembagaan dan mental-mental serta perilaku Polri. Dengan menata itu,  Polri menjadi dambaan semua orang.

Memang, goncangan di akhir-akhir tahap pertama tersebut, justru menjadi perhatian publik dengan terbongkarnya kasus korupsi Gayus Tambunan yang melibatkan oknum polisi.

Di tengah upaya Polri membangun kepercayaan publik (trust building), kasus Gayus “mencederai”. Tahap pertama reformasi Polri ini, sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan, atau sebagai entry point tahap-tahap berikutnya. Yaitu tahap kedua (2010-2014), sebagai tahap partnership building (membangun kemitraan).

Memang, butuh keikhlasan untuk mereform diri Polri dari Polri sendiri dengan niat yang tulus mengembalikan kepercayaan dan dukungan publik terhadap Polri. Oleh karena itu, Polri dengan tugasnya yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 13, adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tugas tersebut, sulit tercapai jika peranserta masyarakat tidak ada. Kepolisian di mata public diskriminatif, kuran peka, kurang profesional, dan arogan dalam memberikan pelayanan.

Bahkan bisa jadi, lahirnya lembaga-lembaga ad hoc yang tugas dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan kepolisian, seperti KPK dan Tim Pencari Fakta, Satgas Anti Mafia Peradilan, dan lain-lain, berada dalam ruang lingkup yang menunjukkan karena Polri masih “bermain-main” dengan tugas yang diembankannya. Polri belum dapat menyelesaikan dan memuaskan masyarakat. 

Sungguh, ujian yang tidak mudah untuk diselesaikan dan diyakinkan terhadap publik. Namun, suka tidak suka harus dijalankan dan diselesaikan dengan memperlihatkan wajah kepolisian yang peduli terhadap kepentingan publik, dan bukan kepentingan penguasa dan alat pemodal besar. Atau dalam bahasa lain, reformasi kultural Polri adalah dengan mengedepankan perilaku Polri yang simpatik, menghargai hak-hak sipil, bersahabat, tidak memperlihatkan wajah arogan atau karakteristik militer.

Dengan demikian, bila publik masih memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap Polri, tak perlu disesali. Justru hal tersebut sebagai input dari belum berubahnya perilaku Polri, sehingga Polri “tersandera” oleh citra buruk.

Seiring dengan persoalan-persoalan yang dihadapi Polri, publik berharap, komitmen Polri dalam membenahi dirinya dengan mengoptimalkan reformasi birokrasi Polri agar fungsional dengan kultur sipilnya. Toh, UU No. 2 Tahun 2002 tersebut telah mengarahkan Polri pada perubahan struktural, instrumental dan kultural. Semoga* 

(Tulisan ini dimuat di INILAH KORAN, 12 Januari 2012)