Senin, 30 Mei 2011

Urgensitas Pancasila

 
PERSOALAN kebangsaan Indonesia, mengalami ujian berat. Reformasi 1998, sebagai tonggak sejarah “bebas” dari rezim otoriter, masih belum menyerap kepada segenap aspek kehidupan. Bahkan, belakangan ini, justru klaim-klaim sektarianisme menyeruak muncul dan nyaris “menenggelamkan” identitas kebangsaan Indonesia.

Pancasila sebagai falsafah bangsa, mestinya menjadi modal keunggulan bangsa, justru semakin ditinggalkan. Dalam bahasa lain, ada semacam keengganan merujuk Pancasila sebagai arah yang dapat menuntun negara bangsa ini merealisasikan tujuan bernegara, memajukan kesejahteraan umum. Padahal,  setiap bangsa dan negara memiliki ukuran-ukuran tersendiri yang menjadikan pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya.

Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan harus dihapuskan.

Pancasila, jelas Kuntowijoyo (1994) ”sebagai puncak pemikiran tentang hati nurani yang terdalam, dan sekaligus suatu dokumen hidup yang secara terus menerus dapat dipakai sebagai referensi.”

Problematikanya, perjalanan kehidupan negara dan bangsa masih saja jauh dari harapan. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai ukuran-ukuran implementatif untuk merajut hidup dan kehidupan yang beradab yang dioperasionalisasikan dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara ini?

Bila menengok ke belakang, nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaannya berulang kali diselewengkan oleh rezim, karena proses politik yang kerapkali memanipulasi Pancasila hanya demi kekuasaan semata. Nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya hampir tidak bisa dielakkan oleh siapapun, namun dalam tataran implementasinya justru sebaliknya. Makna tentang Pansasila untuk membimbing dan membantu kita dalam pemahaman bernegara dan berbangsa, acapkali direduksi oleh wilayah kepentingan yang sempit.

Dalam kaitannya Pancasila sebagai falsafah bernegara dan berbangsa, telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 sebagai berikut: ”… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil beradab. Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Pancasila sebagai ideologi, sesungguhnya mengandung dimensi ideologi murni dan praktis. Kuntowijoyo (1994) menjelaskan bahwa: Ideologi murni lahir dari khazanah sejarah masa lampau, sedangkan ideologi praktis dapat diamati sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau latar belakang budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi dasar penyusunan sila-sila Pancasila, maka pengalaman sejarah dalam Revolusi Kemerdekaan, periode percobaan dengan demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin, dan periode pembangunan sekarang ini menjadi dasar bagi penyusunan ideologi praktis itu. Sebuah ideologi mengandung kedua unsur, murni dan praktis, yang masing-masing akan saling menunjuk. Jika ideologi murni itu kurang lebih permanen, maka ideologi praktis dapat saja berubah.

Jadi, setiap negara lahir dan berdiri, sesungguhnya karena didasari oleh suatu cita-cita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam penyelenggaraan bernegara bagi kehidupan masyarakatnya. Cita-cita yang ingin diraih itu, diwujudkannya dalam ideologi negara tersebut sebagai pijakan arah perjuangannya. Tanpa memiliki cita-cita dan tujuan, tampak akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Itu sebabnya, setiap pemahaman atau konsep tentang negara bergantung pada pemahaman atau konsep yang tepat tentang tujuan-tujuan Negara.

Bagaimana tujuan Negara Indonesia sendiri? Tujuan Negara RI dapat disimak pada Pembukaan UUD 1945: a) Alenia kedua, …Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; b) Untuk mencapai tujuannya itu, maka dibentuklah suatu Pemerintahan Negara yang mempunyai fungsi seperti nampak pada tujuan (menurut Jellinek adalah alat yang saling bertukaran dengan tujuan), yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran dan fungsi ideologi Pancasila terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia hendaknya dilihat Pancasila sebagai dasar/ideologi negara yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional Negara Republik Indonesia, niscaya dapat terinternalisasi di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut yang tidak bersifat indoktrinasi, sehingga dapat membudaya di kalangan masyarakat. Bila itu dirumuskan dalam konseptualisasi kebijakan bernegara dan berbangsa, maka nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional dapat berkembang dan bertahan terhadap gempuran ideologi-ideologi lain.

Ini berarti, penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia, dapat merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, bila memang nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional, hanya dijadikan sebagai alat politik kekuasaan pemegang kekuasaan, tentu saja ideologi Pancasila semakin terpinggirkan di bumi nusantara ini, dan terdesak, bahkan luntur oleh ideologi lain.

Nilai-nilai Pancasila secara objektif dan subjektif, patut terus dikembangkan. Pancasila sebagai falsafah dan ideologi, mestinya memberikan arah kehidupan berbangsa dan bernegara seiring dengan perkembangan dinamika perubahan dunia, dan Pancasila menjadi ukuran implementatifnya negeri ini. Tanpa pijakan ideologi itu, berarti negara bangsa ini hidup tanpa pedoman.

Sejatinya, Pancasila sebagai falsafah dan ideologi hidup bangsa tetap mempunyai semangat untuk diperjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, maka harus terus menggali dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam konteks zamannya. Itu sebabnya, Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, dan demokratis.**

Dimuat di Tribun Jabar, Senin, 30 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar